Aku bukan ilmuwan,
Aku tak sepandai Habibie yang mampu membuat pesawat terbang
Aku juga bukan sastrawan,
Aku tak sepuitis Chairil Anwar yang mampu memainkan kata hingga punya makna
Bahkan untuk menulis ini saja, aku tak tau cara merangkainya
Dan aku juga bukan seniman,
Aku tak sepiawai Soimah yang mampu melakoni banyak peran.
Aku hanyalah aku,
Yang hanya punya secuil mimpi,
Yang dengan setia mengikuti kemana langkah kaki
Pergi dengan sejuta harapan untuk negeri.
Ah
sudahlah, aku tak tau bagaimana harus merevisi tulisanku seperti apa
lagi. Ini bukan tentang bagaimana tulisanku dikatakan puitis , tapi
tentang bagaimana ceritaku mampu dijadikan referensis. Setidaknya aku
sudah berusaha mencoba agar kalian bisa menelaah kata per kata yang
kusampaikan ini. Aku hanya ingin berbagi pengalaman yang mungkin suatu
saat aku tak mengingatnya. Dan tulisan inilah yang nantinya akan
membawaku kembali pada masa-masa itu.
Aku tak akan basa-basi
lagi, cerita ini bermula ketika semua harapanku musnah hanya karena
goresan tinta di secarik kertas yang sangat berharga untukku di masa
mendatang. Ijazah! Itulah kertas yang sempat membuatku pupus sesaat dan
menenggelamkan hampir seluruh mimpi-mimpiku. Bagaimana tidak? Beberapa
pelajaran yang kutempuh selama tiga tahun rasanya tak berarti ketika
melihat angka enam bertengger dengan pedenya disitu. Aku tak
tau harus berbuat apa kala itu, aku kecewa pada diriku sendiri, aku malu
kepada orang tuaku. Aku tak berani pulang, aku takut dengan reaksi
orang tuaku mengenai hal ini. Tapi tidak dengan teman-temanku, mereka
justru memberiku semangat dan meyakinkan aku bahwa sore nanti aku akan
mendapatkan kampus favorit sesuai dengan keinginanku. Mereka percaya
bahwa Tuhan itu adil karena mereka tau bahwa aku bekerja keras untuk ini
dengan usahaku sendiri, bukan dengan bantuan secarik kertas di bawah
kolom meja yang mampu mengantarkan mereka ke peringkat sepuluh terbaik
di sekolah. Aku masih ingat betul kata-kata mereka padaku,
“Belum
tentu mereka yang nilainya bagus nanti akan diterima SNMPTN, sudahlah,
percaya, ntar sore kamu bakalan dapet kampus kok. Boleh sekarang mereka
bangga dengan hasil UN yang memuaskan, tapi belum tentu mereka akan
dapet kampus nanti.”
Ya, beberapa temanku yang sebenarnya pas-pasan sepertiku
tiba-tiba nilai UN nya melambung tinggi mengalahkan beberapa temanku
yang notabene pandai di kelas. Tapi aku tidak akan membahas mereka
disini, sudah cukup menyakitkan mengetahui nilaiku yang sangat miris
ini. Setelah seluruh keberanianku terkumpul, aku akhirnya memutuskan
untuk pulang ke rumah. Dan benar saja seperti dugaanku, raut wajah orang
tuaku terlihat kecewa mengetahui hasil akhirku yang cukup memalukan
ini. Mereka seakan tak punya harapan bagaimana aku akan melanjutkan
studiku nanti, terutama ayahku yang bahkan enggan untuk berbicara
denganku. Tak banyak hal yang bisa kulakukan, hanya mengusap buliran air
yang membasahi tempat tidurku. Tapi aku yakin, dibalik kekecewaan
ayahku, beliau masih menaruh harapan besar padaku untuk bisa terus
berkuliah. Ibuku, yang biasanya bawel, hanya bisa pasrah dan
tidak ingin memperkeruh suasana. Justru ia memberiku semangat dan
berharap yang terbaik untukku. Aku pun akhirnya mampu meyakinkan ibuku
kalau masih ada satu hal yang belum terlewati, yakni pengumuman SNMPTN.
Ya, itulah harapan terakhirku. Sebagai keluarga yang hanya berkecukupan
untuk hidup sehari-hari saja, orang tuaku tak mampu membiayai studiku.
Oleh karena itu, kami hanya mengandalkan pengumuman SNMPTN yang aku
daftar melalui jalur bidikmisi. Bahkan untuk meyakinkan mereka untuk
masuk ke Universitas favorit saja, mereka takut kalau nanti akan
mengeluarkan biaya besar. Sehingga bidikmisi inilah yang mampu
meyakinkan mereka dan membiarkanku meraih masa depan.
Jam
menunjukkan pukul 4 sore dimana hasil penerimaan mahasiswa jalur SNMPTN
itu diumumkan. Aku masih belum siap mental untuk mengetahui hasilnya.
Aku bingung, kala itu aku masih belum punya laptop dan hapeku masih
belum secanggih sekarang. Jadi apabila aku ingin mengetahui hasilnya,
aku harus pergi ke warnet dulu untuk mengakses websitenya. Hingga suara
adzan maghrib berkumandang, aku pun belum berani untuk melihatnya.
Begitu juga dengan ayahku yang masih belum mau bicara padaku. Aku
menunggu momen yang tepat ketika semua orang telah keluar rumah, aku
bergegas pergi ke warnet dekat rumah untuk mengecek hasilnya. Dan alhamdulillah
berkat doa dan kerja kerasku selama ini, hasil itu berbuah manis
untukku. Aku dinyatakan lolos sebagai mahasiswa S1 Sastra Inggris,
Universitas Airlangga, salah satu Universitas Negeri ternama yang ada di
Indonesia, tepatnya di Surabaya. Inget ya Unair itu NEGERI dan ada di
Jawa Timur. Ok. Jangan sampai ada yang tanya lagi Unair itu apa dan
dimana, sedih aing:(
Everything changes! Meski awalnya
keluargaku banyak yang tidak percaya, kini aku pun bisa membuktikan
kalau usahaku tidak akan menghianati hasil. Aku bahkan tidak menyangka
kalau aku ternyata menjadi panutan banyak orang di sekitarku. Bahkan
tidak sedikit yang datang ke rumah untuk mencari tau bagaimana aku bisa
kuliah dengan dibiayai pemerintah. Maklum, tidak semua anak muda di
kampungku yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi apalagi di
negeri dan favorit. Semua itu berkat usaha, doa, dan restu orang tua.
Semangat menggapai mimpi!
In college scholarship storyline
BIDIK MISI Mengantarkanku untuk Membidik Mimpi
Posted on Friday, May 20, 2016
BIDIK MISI Mengantarkanku untuk Membidik Mimpi
Unknown
May 20, 2016
Unknown
Integer sodales turpis id sapien bibendum, ac tempor quam dignissim. Mauris feugiat lobortis dignissim. Aliquam facilisis, velit sit amet sagittis laoreet, urna risus porta nisi, nec fringilla diam leo quis purus.
Related Articles
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
ehe tak sepuitis siapa buk?
ReplyDeletehehe love you ah
Delete